HASAN
AL-BANA & SAYYID QUTHB
Oleh: A.
Qomarudin
A.
Hasan
Al-Bana
Hasan al-Banna adalah
tokoh pergerakan dan pembaharuan di Mesir. Dia dilahirkan di desa Mahmudiya
kawasan Buhairah, Mesir,
pada tanggal 14 Oktober 1906, dan wafat di Cairo
pada 12 Februari 1949. Ayahnya Syekh Ahmad Abdul Rahmad yang pernah belajar di
Universitas al-Azhar pada masa Syekh Muhammad Abduh, adalah seorang guru dan
Imam di setempat dan pengarang beberapa kitab agama. Pada usia 12 tahun, Hasan
al-Banna telah menghafal al-Qur'an, dan sejak usia belasan tahun, dia
juga aktif dalam kelompok tasawuf Hassafiyah, dan dia adalah penganut madzhab
Hanbali pada bidang fiqih. Setelah menyelesaikan pendidikan guru di Damanhur,
dia melanjutkan studinya ke-Universitas Dar al-Ulum di Cairo. Di sana dia
berhasil menyelesaikan pendidikannya dalam usia relatif muda (21 tahun).[1]
Hasan al-Bana bersama ide-idenya di daerah
kelahirannya, tidak terlepas dari pengaruh sosial-politik Mesir yang terjadi
pada waktu itu. setelah pemimpin Mesir “Sa’d Zaglul” meninggal, terjadi
disintegrasi politik dalam negeri, dan Mesir menjadi menjadi ajang pertarungan
antar politik, yang mengakibatkan pudarnya semangat nasionalisme dan lemahnya
bangsa Mesir. Selain itu, partai politik pada waktu itu tidak lagi berkiblat
pada Islam dalam menentukan arak kebijakannya, akan tetapi sepenuhnya berkiblat
pada Barat. Begitu juga dalam bidang agama dan moral, Mesir tampaknya sudah
meninggalkan Islam sebagai pandangan hidup. Dalam bidang ekonomi, rakyat jatuh
miskin dan lemah, dan semua dikuasai oleh asing (Inggris). Sementara di bidang
pendidikan terjadi kepincangan dalam kurikulum yang hanya mementingakan
pengetahuan umum dan mengesampingkan ilmu agama, dan sebaliknya sekolah agama
tidak menghiraukan ilmu umum.
Kemerosotan yang tengah melanda Mesir itu,
menurut Hasan al-Bana hanya dapat diatasi dengan kembali kepada al-Quran dan
Hadits dan sirah Nabi Muhammad saw. Ide dasar yang dia kemukakan adalah bahwa
Islam membawa ajaran yang sempurna, yang mencakup semua aspek kehidupan. Dia
juga menyadari untuk mencapau Mesir yang betul-betul Islamiyah adalah tidak
mudah, melainkan memerlukan waktu yang cukup lama dan menuntut adanya rencana
dan program yang terorganisir. Maka pada tahun 1928, bersama beberapa kawannya
mendirikan sebuah perkumpulan yang bernama Ikhwanul Muslimin, dan ini mendapat
tanggapan positif dari masyarakat, dan dalam waktu yang singkat, organisasi ini
dapat berkembang dengan pesat.[2]
Sehubungannya dengan cita-cita perjuangannya
untuk menerapkan ajaran Islam yang lengkap pada semua aspek kehidupan, maka
aktivitas Hasan al-Bana dan Ikhwanul Muslimin menggapai bidang yang amat luas,
yang meliputi:
a)
Aspek agama
dan moral, yang menurut al-Banna bahwa upaya untuk mengatasi melemahnya
kesadaran beragama dan dekadensi moral dikalangan masyarakat Mesir dapat
dilaksanakan dengan kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis. Melalui kegiatan
Ikhwanul Muslimin, dia berupaya secara maksimal untuk membina masyarakat dengan
iman dan ibadah, yang diharapkan akan lahir masyarakat yang memiliki semangat
agama yang kuat dan budi pekerti yang mulia. Karena menurut al-Banna, akhlak
adalah tonggak komando perubahan, bagaikan sebatang tongkat yang mengalihkan
perjalanan kereta api dari satu jalur rel ke jalur lainya.
b)
Aspek sosial,
menurut al-Banna bahwa beramal untuk kebaikan masyarakat adalah bagian dari
misi seorang muslim dalam kehidupan ini. Bersama Ikhwanul Muslimin, dia
berupaya dan berkarya untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi
masyarakat berdasarkan syariat Islam. Hasil konkret yang dicapai dalam kegiatan
sosial ini antara lain adalah berdirinya sejumlah rumah sakit dan klinik
kesehatan.
c)
Aspek
pendidikan, adalah merupakan aspek sentral kegiatan al-Banna dan Ikhwanul
Muslimin. Sebab semua ide al-Banna pada dasarnya ditanam dan diwariskan melalui
jalur pendidikan. Secara garis besar, materi pendidikan yang dirancangnya
meliputi aspek akal, akhlak, jasmani, jihad, sosial, dan politik. Pendidikan
ideal yang diinginkanya adalah pendidikan yang seimbang, yang mementingkan
aspek akal dan aspek rohani sekaligus, dengan dilandasi Al-Qur’an dan Hadis,
serta memiliki corak keislaman yang jelas. Pembaharuan yang dilakukanya
terutama menyangkut kurikulum, dengan berupaya menyeimbangkan antar pelajaran
agama dan umum. Dia menghimbau pemerintah agar pengetahuan agama diajarkan di
sekolah-sekolah pemerintah, dan sebaliknya pengetahuan umum diajarkan
disekolah-sekolah agama. Untuk memperluas kesempatan belajar sekaligus
merealisasikan sistem pendidikan yang dicita-citakan, dia dan Ikhwanul Muslimin
mendirikan sekolah yang tidak sedikit jumlahnya.
d)
Aspek
ekonomi, dengan melihat keadaan ekonomi Mesir yang sangat lemah dan
memprihatinkan akibat dominasi asing, al-Banna dan Ikhwanul Muslimin bangkit
membela kepentingan masyarakat ekonomi lemah. Ia gigih memperjuangkan hak para
pekerja dan para petani serta berusaha memperbaiki kehidupan ekonomi melalui
usaha swadaya. Ia berseru kepada pemerintah dan masyarakat agar menguasai dan
mengolah sendiri semua sumber daya alam serta menentang setiap campur tangan
asing. Secara konkret dia dan Ikhwanul Muslimin mendirikan beberapa perusahaan,
seperti perusahaan tenun dan pemintalan, perusahaan bangunan dan dagang,
percetakan dan penerbitan, serta berbagai usaha di bidang pertanian.
e)
Aspek
politik, yang sebenarnya al-Banna adalah bukan seorang politikus, dan Ikhwanul
Muslimin yang ia dirikan hanya sebuah perkumpulan dan bukan partai politik.
Akan tetapi, dia dan tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin lainya tidak absen dari
pembicaraan mengenai politik. Karena menurut pendapatnya, Islam itu suatu
sistem yang meliputi berbagai sistem, termasuk sistem politik. Inti idenya
dalam bidang politik ini adalah keharusan diterapkanya hukum Islam secara
konsekuen di Negara Mesir. Dengan demikian, secara politis dia adalah seorang
yang anti-Barat.[3]
Ada duagaan keterlibatan al-Banna dalam politik
praktis inilah yang menimbulkan akibat fatal bagi dirinya dan perkumpulan Ikhwanul
Muslimin. Karena pihak penguasa semakin menaruh curiga, dan kecurigaan tersebut
semakin memuncak, yang akhirnya pada tanggal 8 Desember 1948 pemerintah Mesir
membubarkan Ikhwanul Muslimin, menyita semua kekayaanya, dan memenjarakan
tokoh-tokoh penting organisasi itu. Tiga minggu setelah pemerintah mengumumkan
pembubaran organisasi itu, Perdana Menteri Nuqrashi Pasha mati terbunuh. Pihak
penguasa rezim Faruq mempunyai dugaan kuat bahwa pelaku pembunuhan tersebut
adalah anggota Ikhwanul Muslimin. Tujuh minggu kemudian terjadilah tragedi
berdarah yang sangat memilukan, terutama bagi warga Ikhwanul Muslimin. Hasan
al-Banna tewas ditembak anggota dinas rahasia pemerintah pada tanggal 12
Februari 1949.[4]
B.
SAYYID
QUTHB
Sayyid Quthb
adalah tokoh agama,
ilmuwan,
sastrawan, ahli tafsir dan intelektual Islam asal Mesir. Nama lengkapnya Sayyid
Qutb Ibrahim Husain Syadzili, lahir di Asyut, Mesir 9 Oktober 1906. Ayahnya al-Haj
Qutb Ibrahim, adalah seorang anggota Partai Nasionalis. Beliau dibesarkan dan
di didik dalam keluarga sederhana yang memegang teguh syariat Islam. Sayyid
Quthb adalah anak yang cerdas, tekun beribadah dan memiliki semangat belajar
tinggi. Di usia yang masih kecil, Sayyid Quthb telah hafal Alqur`an serta
banyak memahami ilmu agama Islam. Di masa dewasa, dia banyak menghasilkan
karya-karya besar, juga menjadi aktivis gerakan Islam Ikhwanul Muslimin yang
didirikan Hasan
–Al-Banna. [5]
Ketika mendapat kesempatan untuk melanjutkan
pendidikan di Kairo, itu tidak disia-siakan olehnya. Hidup dan belajar di Kairo
adalah kesempatan emas buat Sayyid Qutb. Karena ia dapat langsung berhubungan
dengan para penyair besar Mesir. Selama hidup di Mesir ia mulai mengasah
bakatnya di bidang sastra. Ia begitu intens mengikuti berbagai kajian sastra.
Pada awalnya Sayyid Qutb sangat tertarik dengan aliran sastra yang dibawa oleh Abbas mahmud al Aqqad. Sejak tahun 1923 Sayyid Qutb begitu intens menghadiri muhadarah Abbas Mahmud al Aqqad di setiap tempat dan menjadikannya sebagai guru sastra.
Pada awalnya Sayyid Qutb sangat tertarik dengan aliran sastra yang dibawa oleh Abbas mahmud al Aqqad. Sejak tahun 1923 Sayyid Qutb begitu intens menghadiri muhadarah Abbas Mahmud al Aqqad di setiap tempat dan menjadikannya sebagai guru sastra.
Dengan tetap istiqamah dalam aliran Abbas
Mahmud al Aqqad di setiap tulisannya membuat Sayyid Qutb dekat dengan Toha
Husein ketika dia menjadi pegawai di departemen pendidikan Mesir, yaitu sebagai
penasehat Kementrian Pendidikan. Pada tahun 1945 terjadi perubahan dalam diri
Sayyid Qutb. Aliran Abbas al Aqqad yang sebelumnya mendominasi dalam setiap karyanya
tidak lagi terasa. Ada nuansa islami yang mulai menguat. Gejala ini dimulai
dari bukunya "taswiir al fanni fi al Quran" yang diterbitkan pada
tahun 1945. Pada bab pendahuluan ia memulai dengan tulisan "laqad wajadtu
al Qur'an" (Sungguh aku telah menemukan al Quran). Seakan-akan ia kembali
menemukan mutiara yang telah hilang selama bertahun-tahun. [6]
Sayyid Qutb terkenal sebagai seorang penulis
buku. Ia telah menghasilkan lebih dari dua puluh buah karya dalam berbagai
bidang diantaranya karya sastra dan buku-buku keagamaan. Sayyid Qutb pernah
berkarir sebagai pengawas pendidikan di Departemen Pendidikan Mesir. Ia bekerja
sangat professional dan berprestasi tinggi hingga dikirim pemerintah Mesir
untuk menuntut ilmu di Amerika. Ia menuntut ilmu di tiga perguruan tinggi yaitu
Wilson’s Teacher’s College (Washington) , Greeley College (Colorado) dan
Stanford University (California). Tak cukup sampai disitu, ia juga berkelana ke
Itali, Inggris, Swiss, dan Negara Eropa lainnya untuk menimba ilmu
sebanyak-banyaknya.[7]
Ketika di Amerika, tahun
1949, beliau menyaksikan Hassan al-Bana,
pendiri aI-Ikhwan dibunuh. Dari sini, Sayyid
mulai simpati dengan jamaah ini. Setelah
kembali ke Mesir, beliau mengkaji sosok
Hassan al-Bana, seperti dalam pengakuannya:
“Saya telah membaca semua risalah al-Imam as-Syahid. Saya mendalami perjalanan hidup beliau yang bersih dan tujuan-tujuannya yang haq. Dari sini saya tahu, mengapa beliau dimusuhi? Mengapa beliau dibunuh? Karena itu, saya benjanji kepada Allah untuk memikul amanah ini sepeninggal beliau, dan akan melanjutkan perjalanan ini seperti yang beliau lalui. [8]
“Saya telah membaca semua risalah al-Imam as-Syahid. Saya mendalami perjalanan hidup beliau yang bersih dan tujuan-tujuannya yang haq. Dari sini saya tahu, mengapa beliau dimusuhi? Mengapa beliau dibunuh? Karena itu, saya benjanji kepada Allah untuk memikul amanah ini sepeninggal beliau, dan akan melanjutkan perjalanan ini seperti yang beliau lalui. [8]
Sekembalinya dari Eropa, Sayyid Qutb bergabung
dengan kelompok pergerakan Ihkawanul Muslimin. Sayyid Qutb menjadi salah
seorang tokoh yang berpengaruh, disamping Hasan al-Hudaibi dan Abdul Qadir
Auda. Tahun 1951 adalah waktu larangan terhadap Ikhwanul Muslimin dicabut, dan
pada saat itu dia terpilih menjadi anggota panitia pelaksana dan ketua lembaga
dakwah.[9]
Sejak bergabung dengan Ikhwanul Muslimin,
karya-karyanya menitik beratkan pada beberapa hal: Pertama, kebutuhan manusia
akan aqidah islami yang murni yang langsung bersumber dari al Quran dan as
Sunnah. Dia mengajak masyarakat memahami aqidah secara universal tanpa ada
batasan-batasan geografis yang melingkupinya. Sayyid Qutb meyakini dengan
berpegang kepada Aqidah yang murni, maka setiap muslim akan mampu menghadapi
problematika hidup. Ia akan selamat di dunia dan bahagia di akhirat. Dalam
tafsir "Fi adz dzilal al Quran" ia menjelaskan, "Sesungguhnya
tugas kita bukan untuk menghukumi manusia, ini kafir ini mukmin. Akan tetapi
tugas kita adalah mengenalkan hakekat laa Ilaaha Illa Allah (tiada tuhan
selain Allah). Karena manusia tidak mengetahui konsekwensi dasar kalimat
tersebut yaitu menerapkan hukum Islam dalam seluruh dimensi kehidupan."
Kedua, langkah yang harus ditempuh untuk
membuat masyarakat muslim sebagaimana masyarakat yang telah dibentuk oleh
Rasulullah SAW di Madinah. Hal ini terlihat dari beberapa karyanya seperti:
nahwa mujtama' al Isl'mi, al ad'lah al ijtim''iyah fi al Islam, hal nahnu
muslimun dll. Ketiga, keuntungan yang di dapat oleh manusia bila menjadikan
Islam sebagai manhaj (tuntunan) hidup. Hal ini dituangkan dalam buku-bukunya
seperti: al Isl'm wa al musykilah al hadh'rah, as sal'm al 'lami wa al Isl'm
dll. Keempat, sikap Islam terhadap kolonialisme dalam semua segi, ideologi,
politik, ekonomi, militer dll. Hal ini terlihat dalam bukunya al Isl'm wa al
isti'm'r. [10]
Dengan demikian, selain sebagai tokoh
pergerakan, Qutb juga dikenal sebagai seorang penulis dan kritikus sastra.
Banyak karyanya yang telah dibukukan. Ia banyak menulis tentang sastra, politik
sampai keagamaan. Tahun 1954, Sayyid menjadi pemimpin redaksi harian Ikhwanul
Muslimin. Akan tetapi baru dua bulan usiannya, harian tersebut dilarang beredar
oleh pemerintah Mesir. Penyebab utamanya adalah sikap keras, yang mengkritik
keras Presiden Mesir Kolonel Gamal Abdel Naseer. Sayyid Qutb mengkritik
perjanjian pemerintahan Mesir dan Inggris. Sejak itu, ia menjadi korban
kekejaman kekejaman penguasa hingga pada bulan Mei 1955, Sayyid Qutb ditahan
dan dipenjara dengan alasan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah. Tiga
bulan kemudian, hukuman yang lebih berat diterimanya, yakni harus bekerja paksa
di kamp-kamp penampungan selama 15 tahun lamanya.[11]
Beliau sempat dibebaskan atas permintaan
presiden Iraq Abdul Salam Arief saat berkunjung ke Mesir tahun 1964. Namun kebebasannya
tidak lama, karena ia kembali dipenjara setahun kemudian berikut tiga
saudaranya (Muhammad Qutb, Hamidah, dan Aminah), serta 20.000 rakyat Mesir
lainnya. Alasannya beliau dan Ikhwanul Muslimin dituduh membuat gerakan makar
dan membunuh Presiden Jamal Abdul Naseer. Hukuman yang diterima kali ini lebih
berat dari sebelumnya, yaitu hukuman mati bersama dengan dua orang temannya.
Meski dunia internasional mengecam pemerintah
Mesir, hukuman mati tetap dilaksanakan pada tanggal 29 Agustus 1969. Sebelum
menghadapi ekskusinya, Sayyid Qutb sempat menuliskan tulisan sederhana, tentang
pertanyaan dan pembelaannya. Kini tulisan tersebut telah dibukukan dengan
judul, “Mengapa saya dihukum mati”. Sebuah pertanyaan yang tak pernah bisa
dijawab oleh pemerintahan Mesir hingga kini.[12]
[1] Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam. 1999. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru
van Hoeve. Cet. VI. Jilid 1. Hlm. 234.
[2] Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam. 1999. Jilid 1. Hlm. 234.
[3] Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam. 1999. Jilid 1. Hlm. 235.
[4] Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam. 1999. Jilid 1. Hlm. 236.
[5] http://www.biografitokohdunia.com/2011/04/biografi-sayyid-quthb.html.
Diakses Jum’at, 03 Februari 2012.
[6] http://arifsyah.xtgem.com/Ulamak/Qutub.
Diakses Jum’at, 03 Februari 2012.
[7] Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam. 1999. Jilid 4. Hlm. 145.
[8] http://www.globalmuslim.web.id/2011/02/perubahan-mendasar-pemikiran-sayyid.html.
Diakses Ahad, 29/01/2012.
[9] Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam. 1999. Jilid 4. Hlm. 145.
[10] http://arifsyah.xtgem.com/Ulamak/Qutub.
Diakses Jum’at, 03 Februari 2012.
[11] Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam. 1999. Jilid 4. Hlm. 145.
[12] http://www.biografitokohdunia.com/2011/04/biografi-sayyid-quthb.html.
Diakses Jum’at, 03 Februari 2012.
No comments:
Post a Comment