PENDAHULUAN
Hidup bermasyarakat berarti hidup
berdampingan dengan orang lain, dan hidup berdampingan dengan orang lain
memiliki konsekuensi untuk mau menerima setiap kondisi yang terjadi di antara berbagai
manusia yang ada di sekitar. Tidak menutup kemungkinan orang yang ada di
sekeliling kita terdapat orang yang berbeda agama. Maka dalam hal ini
memerlukan pemahaman tentang kerukunan umat beragama. Kerukunan dalam hal ini
dapat dilandasi dengan sifat saling menghormati umat beragama, yang kemudian
diharapkan muncul komunikasi yang
bersifat kemanusiaan dengan sebaik-baiknya.
bersifat kemanusiaan dengan sebaik-baiknya.
Dengan demikian, kerukunan umat
beragama merupakan suatu bentuk sosialisasi yang damai dan tercipta berkat
adanya sifat saling menghormati yang selanjutnya berwujud toleransi dalam
kehidupan beragama. Toleransi dapat diartikan sebagai sikap saling pengertian
dan menghargai tanpa adanya diskriminasi dalam hal apapun, khususnya dalam
masalah kehidupan beragama. Kerukunan umat beragama adalah hal yang sangat
penting untuk mencapai sebuah kesejahteraan hidup di negeri ini (Indonesia),
yang memiliki keragaman begitu banyak. Karena tidak hanya masalah adat istiadat
atau seni budaya, akan tetapi juga termasuk agama.
Bentuk keragaman yang ada di negeri
ini memiliki dua mata pisau yang sangat tajam, satu sisi mata pisau dapat
digunakan sebagai suatu kekuatan dan di satu sisi mata pisau yang lain dapat
dimanfaatkan untuk menciptakan suatu kehancuran atau perpecahan. Untuk dapat
menjadikan keragaman menjadi sebuah kekuatan sangat diperlukan peran serta
berbagai warna dari keragaman untuk saling memahami antara ragam yang satu
dengan ragam yang lainnya. Apabila ini tidak dapat dilakukan, maka yang akan
muncul adalah sebuah kehancuran.
Dalam
al-Quran yang menjadi sumber ajaran utama Islam, juga dijelaskan oleh Allah
terkait dengan anjuran agar dapat memanfaatkan keberagaman sebagai sebuah
kekuatan dengan langkah awal pengenalan. Hal ini secara jelas disampaikan dalam
surat al-Hujurat ayat 13:
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal”.
Ayat tersebut memberikan penekanan pada perlunya
untuk saling mengenal. Karena semakin kuat pengenalan satu pihak kepada
selainnya, maka akan semakin terbuka peluang untuk saling memberi manfaat.
Perkenalan ini dimaksudkan untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah dengan
cara saling menarik pelajaran dan pengalaman dari pihak lain, yang dampaknya
tercerminnya kedamaian dan kesejahteraan duniawi dan kebahagiaan ukhrawi.
Saling mengenal yang digaris bawahi dalam ayat di atas adalah “pancing” untuk
meraih manfaat dan bukan “ikan”nya. Maka dalam hal ini yang diberikan adalah
caranya dan bukan manfaatnya, karena memberi pancing itu jauh lebih baik
daripada memberi ikan.[1]
Namun
apabila kita melihat masyarakat di negeri ini, nampaknya alat yang diajarkan
oleh al-Quran “saling mengenal” belum dimiliki oleh masing-masing pihak,
sehingga belum dapat menikmati hasilnya (kedamaian dan kesejahteraan). Dapat
dibuktikan dengan masih banyaknya perpecahan yang dilatar belakangi oleh
keberagaman yang ada di Indonesia, baik aliran keagamaan maupun perbedaan
agama. Maka untuk memanfaatkan keberagaman menjadi sebuah kekuatan besar yang
tak tertandingi, al-Quran memberikan “pancing” berupa “saling mengenal” yang
selanjutnya menuntut dari semua keberagaman yang ada untuk saling mengenal
antara pihak yang satu dengan pihak lain.
Dengan
demikian, yang diperlukan dalam hal ini adalah sebuah ukhuwah (persaudaraan).
Hal ini yang akan menjadi kajian penulis dalam makalah ini, yaitu bagaimana
al-Quran secara lugas berbicara tentang persaudaraan dengan berbagai kajiannya.
PEMBAHASAN
A.
Ukhuwah
dalam Al-Quran
Dijelaskan dalam al-Quran tentang kata akh (saudara)
dalam bentuk tunggal ditemukan sebanyak 52 kali,[2]
dan 96 kali dihitung bersama dengan bentuk jamaknya.[3]
Menurut M. Qurais Shihab, secara umum makna kata akh beserta bentuk
jamaknya dapat dikelompoknya menjadi beberapa bagian, di antaranya adalah:
1. Saudara kandung atau saudara seketurunan, ini
dijelaskan pada ayat yang berbicara tentang masalah waris atau keharaman mengawini
orang-orang tertentu, misal dalam surat an-Nisa’: 23
2.
Saudara yang
dijalin dengan ikatan keluarga, seperti doa Nabi Musa a.s. yang diabadikan
al-Quran, surat Tha Ha: 29-30
3. Saudara dalam arti sebangsa, walaupun tidak
seagama yang dijelaskan dalam surat al-A’raf: 65
4.
Saudara
semasyarakat, walaupun berselisih paham yang dijelaskan dalam surat Shad:
23
5.
Persaudaraan
seagama, dijelaskan dalam surat al-Hujurat: 10
Demikian beberapa persaudaraan yang dijelaskan
secara jelas dalam al-Quran dengan menggunakan kata akh. Selain itu ada
persaudaraan yang dijelaskan oleh al-Quran secara substansi dan tidak secara tegas, adalah:
1.
Saudara
sekemanusian (ukhuwah insaniah), yang dijelaskan bahwa manusia
diciptakan oleh Allah dari seorang laki-laki dan seorang perempuan (Adam dan
Hawa). Ini dejelaskan dalam surat al-Hujurat: 13
2.
Saudara
semakhluk dan seketundukan kepada Allah, yang dijelaskan dalam surat al-An’am:
38
Dengan demikian, muncul istilah ukhuwah
islamiyah yang berlandaskan pada sumber pokok ajaran agama Islam
(al-Quran), atau ukhuwah yang bersifat Islami. Dapat disimpulkan bahwa dalam
al-Quran memperkenalkan paling tidak ada empat macam persaudaraan, yaitu:
1.
Ukhuwah
‘ubudiyah atau saudara kesemakhlukan dan kesetundukan
kepada Allah.
2.
Ukhuwah
insaniyah (basyariyah)
dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena mereka semua
berasal dari seorang ayah dan ibu.
3.
Ukhuwah
wathaniyah wa an-nasab, yaitu persaudaraan dalam
kebangsaan dan keturunan.
B.
Pentingnya
Ukhuwah
Dalam memantapkan ukhuwah, pertama kali
al-Quran mengarisbawahi bahwa perbedaan adalah hukum yang berlaku dalam
kehidupan, dan merupakan kehendak Ilahi untuk kelestarian hidup dan mencapai
tujuan kehidupan makhluk di pentas bumi. Hal ini dijelaskan dalam al-Quran
surat al-Maidah: 48 sebagai berikut.[5]
“dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya)
dan batu ujian[421] terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah
perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.
untuk tiap-tiap umat diantara kamu[422], Kami berikan aturan dan jalan yang
terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan
itu,”
[421] Maksudnya: Al Quran
adalah ukuran untuk menentukan benar tidaknya ayat-ayat yang diturunkan dalam
Kitab-Kitab sebelumnya.
[422] Maksudnya: umat Nabi
Muhammad s.a.w. dan umat-umat yang sebelumnya.
Dalam surat al-Hajj (22): 67 juga dijelas
“bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan
syari'at tertentu yang mereka lakukan, Maka janganlah sekali-kali mereka
membantah kamu dalam urusan (syari'at) ini dan serulah kepada (agama) Tuhanmu.
Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus.”
Ayat di atas menyampaikan pesan bahwa sikap toleran adalah sikap ideal
yang harus digunakan dalam menyikapi perbedaan, sedangkan tindakan mendebat dan
memperuncing perbedaan tradisi merupakan tindakan yang keliru. Merupan satu
bagian penting dari refrmasi Islam adalah kesadaran bahwa toleransi bukanlah
gagasan Barat, melaikan konsep universal al-Quran.[6]
Maka dalam hal ini, seorang muslim dapat
memahami adanya pandangan atau bahkan pendapat yang berbeda dengan pandangan
agamanya, karena semua itu tidak mungkin berada di luar kehendak ilahi, dan
dalam hal ini memerlukan sikap yang disebut toleran. Jadi berbagai perbedaan
yang ada di dunia ini jangan menjadikan seseorang gelisah atau bunuh diri, dan
sampai memaksa orang lain secara halus atau kasar agar menganut agamanya. Hal
ini dipertegas dalam surat al-Kahfi: 6 dan surat Yunus: 99
“Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh
dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, Sekiranya mereka tidak
beriman kepada keterangan ini (Al-Quran).”
“dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman
semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa
manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”
Dalam ayat yang lain dijelaskan juga tentang
anjuran supaya berpegang teguh pada ajaran Allah dan dilarang bercerai berai,
karena memilih bercerai belai (pecah belah) sama dengan mengambil posisi di
neraka. Hal ini terdapat dalam surat Ali Imran (3): 103
“dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali
(agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat
Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang
yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah
menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”
Dengan demikian, begitu pentingnya persaudaraan
(kerukunan) untuk mewujudkan sosial masyarakat yang damai dan harmonis.
C.
Petunjuk
Al-Quran tentang Ukhuwah
M. Qurais Shihab secara terperinci menjelaskan
beberapa petunjuk yang diajarkan Allah dalam al-Quran. Beberapa petunjuk yang
berkaitan dengan persaudaraan secara umum dan persaudaraan seagama Islam
adalah:[7]
1.
Untuk
memantapkan persaudaraan pada arti umum, Islam mengajarkan konsep khalifah, karena
dalam al-Quran dijelaskan bahwa Allah mengangkat manusia di muka bumi ini
menjadi seorang khalifah. Kekhalifahan akan menuntu manusia untuk mampu
memelihara, membimbing, dan mengarahkan segala sesuatu agar mencapai maksud dan
tujuan penciptaannya.
2.
Untuk
mewujudkan persaudaraan antar pemeluk agama, Islam memperkenalkan ajaran, yang
dalam hal ini dijelaskan dalam surat al-Kafirun (109): 6 dan as-Syura (42): 15
“Maka karena itu serulah (mereka kepada agama
ini) dan tetaplah[1343] sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah
mengikuti hawa nafsu mereka dan Katakanlah: "Aku beriman kepada semua
kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya Berlaku adil diantara
kamu. Allah-lah Tuhan Kami dan Tuhan kamu. bagi Kami amal-amal Kami dan bagi
kamu amal-amal kamu. tidak ada pertengkaran antara Kami dan kamu, Allah
mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita)".”
[1343] Maksudnya: tetaplah
dalam agama dan lanjutkanlah berdakwah.
Al-Quran
dalam hal ini juga menganjurkan agar mencari titik singgung dan titik temu
antar pemeluk agama, dan apabila tidak ditemukan persamaannya hendaknya
masing-masing mengakui keberadaan pihak lain, dan tidak perlu mencari
kesalahannya. Ini dijelaskan dalam al-Quran surat ali imran (3): 64:
“Katakanlah: "Hai ahli Kitab, Marilah
(berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara
Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita
persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan
sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka
Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang
berserah diri (kepada Allah)".”
3.
Untuk
memantapkan persaudaraan antar sesama muslim, al-Quran menggarisbawahi perlunya
menghindari segala macam sikap lahir dan batin yang dapat mengeruhkan diantara
mereka. Secara tegas dijelaskan dalam al-Quran surat al-Hujurat (49): 11-12
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang
ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan
merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan
janganlah suka mencela dirimu sendiri[1409] dan jangan memanggil dengan gelaran
yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk
sesudah iman[1410] dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah
orang-orang yang zalim.”
“Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena
sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang
dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang
suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang.”
[1409] Jangan mencela dirimu
sendiri Maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin karana orang-orang mukmin
seperti satu tubuh.
[1410] Panggilan yang buruk
ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti panggilan
kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: Hai fasik, Hai kafir
dan sebagainya.
D.
Keragaman
dan Kerukunan Beragaman dalam Al-Quran
Keragaman yang ada di muka bumi ini memang
sebuah kesengajaan yang ditampilkan oleh Allah (sunatullah) dan menjadi langkah
penting dalam menentukan mana yang terbaik di antara keseluruhan dari
masing-masing ragam, terbaik dalam hal ini adalah yang bertaqwa kepada Allah
swt. Maka janganlah menjadikan susah pada diri seseorang apabila terdapat
golongan yang tidak beriman dan akhirnya sampai mengadakan perpecahan di bumi ini, karena yang memberikan hidayah dalam
hal ini adalah Allah swt. Maka dalam urusan kemanusiaan yang dianjurkan adalah
sebuah persaudaraan (kerukunan) antar sesama, sedangkan berhubungan dengan
masalah ketuhanan merupakan hak Allah semata.
Teladan persaudaraan Islam telah diajarkan oleh
Nabi Muhammad saw. pada waktu berhijrah dari Makkah ke Yastrib (Madinah),
tindakan pertama yang dilakukan adalah menjalin persaudaraan antar berbagai
unsur anggota masyarakat yang terutama golongan Muhajirin dan Anshar serta
beberapa golongan yang ada di sana.[8]
Akhirnya muncul perjanjian yang dalam sejarah merupakan undang-undang (dokumen
resmi) yang ditulis pertama kali dalam dunia adalah Piagam Madinah.
Terkait persaudaraan (kerukunan) antar agama
juga dijelaskan dalam al-Quran surat al-Baqarah (2): 256
“tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama
(Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena
itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[162] dan beriman kepada Allah, Maka
Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak
akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
[162]
Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah s.w.t.
Jadi tidak diperbolehkan memaksakan suatu agama kepada orang lain,
karena manusia dianggap sudah mampu dan harus diberi kebebasan dalam membedakan
dan memilih sendiri mana yang benaar dan mana yang salah. Dengan kata lain, manusia
dianggap sebagai seorang yang sudah dewasa dan dapat menentukan pilihannya yang terbaik bagi
dirinya sendiri dengan tanpa harus dipaksa-paksa.[9]
Suatu paksaan dalam hal ini menjadi sebuah larangan, dikarenakan berawal dari
sebuah paksaan dapat menimbulkan sebuah konflik yang akhirnya perpecahan
menjadi titik akhir dalam tatanan sosial masyarakat.
KESIMPULAN
Ada beberapa hal yang
menjadi kesimpulan penulis dari beberapa penjelasan di atas, di antaranya
adalah:
1. Ukhuwah (persaudaraan) banyak dibicarakan dalam ayat
al-Quran, dan dapat diklasifikasikan menjadi beberapa ukhuwah islamiyah, yaitu ukhuwah
’ubudiyah, insaniyah, wathaniyah wa an-nasab, dan ukhuwah fi din
al-Islam.
2. Persaudaraan atau
kerukunan menjadi sesuatu yang sangat penting dalam menjaga kelangsungan bumi
yang beragam adanya, dalam hal ini diperlukan pemahaman kemanusiaan (sosial
masyarakat) antara satu pihak dengan pihak lainnya.
3. Keberagaman
yang muncul di dunia ini merupakan sunnatullah demi kelestarian hidup
dan demi mencapai tujuan kehidupan makhluk di pentas bumi, yaitu mana yang
paling bertaqwa di sisi Allah swt.
DAFTAR RUJUKAN
Al-Quran in word
versi 1.3.
Abdulhameed,
Sultan., Al-Quran untuk Hidupmu: Menyimak Ayat Suci untuk Perubahan Diri diterjemahkan
dari The Quran and the Life of Excellence dengan penerjemah Aisyah
(Jakarta: Zaman, 2012).
Al-Baaqi,
Muhammad Fu’ad Abd., al-Mu’jam al-Mufahras li al-Alfad al-Quran al-Kariim (Kairo:
Dar al-Hadits, 1996).
Ibrahim,
Muhammad Isma’il., Mu’jam al-Alfadz wa al-A’lam al-Quraniyah (Kairo: Dar
al-Fikri al-‘Arabi, 1998).
Madjid,
Nurcholish., Pinti-pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 1999).
Shihab, M.
Qurais., Dia di mana-mana “Tangan” Tuhan di Balik Setiap Fenomena (Jakarta:
Lentera Hati, 2011).
Shihab, M.
Qurais., Wawasan Al-Quran: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung:
Mizan, 2007).
[1] M. Qurais Shihab, Dia
di mana-mana “Tangan” Tuhan di Balik Setiap Fenomena (Jakarta: Lentera
Hati, 2011), Cet. 11, hlm. 155.
[2] M. Qurais Shihab, Wawasan
Al-Quran: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan,
2007), Cet. 1, hlm. 640.
[3] Muhammad Isma’il
Ibrahim, Mu’jam al-Alfadz wa al-A’lam al-Quraniyah (Kairo: Dar al-Fikri
al-‘Arabi, 1998), hlm. 33. Lihat juga dalam Muhammad Fu’ad Abd al-Baaqi, al-Mu’jam
al-Mufahras li al-Alfad al-Quran al-Kariim (Kairo: Dar al-Hadits, 1996),
hlm. 29-30.
Kata أخ
terdapat 4 kali [an-Nisa’ (4): 12 dan 23, Yusuf (12): 59 dan 77], أخا terdapat 1 kali [al-Ahqaf (46): 21], أخانا terdapat 2 kali [Yusuf (12): 63 dan 65], أخاه terdapat 7 kali [al-A’raf (7): 111, Yusuf (21): 69, 76, Maryam
(19): 53, al-Mu’min (23): 45, al-Furqan (25): 35, as-Syu’ara’ (26): 36], أخاهم terdapat 8 kali [al-A’raf (7): 65, 73, 85, Hud (11): 50, 61,
84, an-Naml (27): 45, al-‘Ankabut (26): 36],
أخوك terdapat 2
kali [Yusuf (12): 69, Thaha (20): 42], أخوه terdapat 1 kali [Yusuf (12): 8], أخوهم terdapat 4 kali [as-Syu’ara’ (26): 106, 124, 142, 161], أخي terdapat 7 kali [al-Maidah (5): 25, 31, al-A’raf (7): 151,
Yusuf (12): 90, Thaha (20): 30, al-Qasas (28): 34, Shad (38): 23], أخيك terdapat 1 kali [al-Qasas (28): 35], أخيه terdapat 15 kali [al-Baqarah (2): 178, al-Maidah (5): 30, 31,
al-A’raf (7): 142, 150, Yusuf (12): 87, 64, 70, 76, 76, 87, 89, al-Hujurat
(49): 12, al-Ma’arij (70): 12, ‘Abasa (80): 34], أخويكم terdapat 1 kali [al-Hujurat (49): 10], إخوان terdapat 2 kali [al-Isra’ (17): 27, Qaf (50): 13], إخوانا terdapat 2 kali [Ali Imran (3):
103, al-Hijr (15): 47], إخوانكم
terdapat 6 kali [al-Baqarah (2): 220, at-Taubah (9): 11, 23, 24, an-Nur (24):
61, al-Ahzab (33): 5], إخواننا terdapat 1
kali [al-Hasyr (59): 10], إخوانهم
terdapat 7 kali [Ali Imran (3): 156, 168, al-An’am (6): 87, al-A’raf (7): 202,
al-Ahzab (33): 18, al-Mujadalah (58): 22, al-Hasyr (59): 11], إخوانهن terdapat 4 kali [an-Nur (24):
31, 31, al-Ahzab (33): 55, 55], إخوة terdapat 4 kali [an-Nisa’ (4): 11, 176, Yusuf (12): 58,
al-Hujurat (49): 10], إخوتك terdapat 1
kali [Yusuf (12): 5], إخوته terdapat 1
kali [Yusuf (12): 7], إخوتي terdapat 1
kali [Yusuf (12): 100], أخت
terdapat 4 kali [an-Nisa’ (4): 12, 23, 176, Maryam (19): 28], أختك terdapat 1 kali [Thaha (20): 40], أخته terdapat 1 kali [al-Qasas (28): 11], أختها terdapat 2 kali [al-A’raf (7): 38, az-Zuhruf (43): 48], أختين terdapat 1 kali [an-Nisa’ (4): 23], أخواتكم terdapat 3 kali [an-Nisa’(4): 23, 23, an-Nur (24): 61], أخواتهن terdapat 2 kali [an-Nur (24):
31, al-Ahzab (33): 55].
[4] M. Qurais Shihab, Wawasan...,
hlm. 643.
[5] M. Qurais Shihab, Wawasan...,
hlm. 647.
[6] Sultan Abdulhameed, Al-Quran
untuk Hidupmu: Menyimak Ayat Suci untuk Perubahan Diri diterjemahkan dari The
Quran and the Life of Excellence dengan penerjemah Aisyah (Jakarta: Zaman,
2012), hlm. 403-404.
[7] M. Qurais Shihab, Wawasan...,
hlm. 648-654.
[8] Nurcholish Madjid, Pinti-pintu
Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 1999), cet. V, hlm. 238.
[9] Nurcholish Madjid, Pinti-pintu...,
hlm. 218.
No comments:
Post a Comment